Senin, 03 November 2008

Masalah Pesisir Laut Indonesia, Terancam Permukiman dan Tak Dipedulikan


JAKARTA – Hampir 60 persen penduduk Indonesia hidup di pesisir lautan. Bermukim di antara mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Bahkan di pesisir utara Jawa, ada 600.000 nelayan yang menggantungkan hidupnya dari laut di sekitar tempat tersebut.

Banyaknya jumlah pemukim tersebut, mengindikasikan semakin tingginya potensi kerusakan lingkungan laut di sekitar mereka. Lalu ditambah dengan tingginya minat ekonomis yang melingkupi, jadilah masalah kerusakan pesisir dan lautan negeri ini makin menuju arah yang tak terkendali.
Indonesia dikenal sebagai wilayah yang memiliki wilayah laut terluas. Bagaimana tidak dengan wilayah laut teritorial seluas 5,7 juta km persegi. Belum lagi ditambah luas lautan dari kesepakatan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang mencapai 2,7 juta km persegi, makin pantas rasanya negeri ini disebut sebagai negara dengan daerah perairan terluas di dunia.
Pesisir dan laut Indonesia juga banyak dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut tropis terkaya di dunia. Ini disebabkan hampir 30 persen hutan bakau dan 30 persen terumbu karang hidup di perairan Indonesia. Selain itu pesisir dan laut juga menyediakan 60 persen kebutuhan protein dari ikan, yang 90 persennya berasal dari perairan sebelah dalam dari 12 mil laut garis pantai.
Selain dikenal sebagai negara perairan terluas, Indonesia juga terkenal dengan banyaknya pulau yang dimiliki. Hingga kini tercatat ada 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km. Dengan garis pantai sepanjang itu, maka bukan sebuah hal yang aneh bila banyak orang Indonesia memilih bermukim di daerah pesisir. Hingga kini tercatat 140 juta atau sekitar 60 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah tersebut.

Permukiman
Melihat potensi yang sedemikian besarnya, rasanya tak enak hati kalau dikatakan itu hanya indah di permukaan saja. Bagaimana tidak dengan potensi sedemikian besar, namun tingkat ekonomi penduduk di area tersebut tidak terlihat memadai. Ini terbukti dengan masih banyaknya kasus-kasus yang menyatakan sedemikan miskinnya masyarakat nelayan Indonesia saat ini. Yang harus hidup dengan ekonomi pas-pasan dan tingkat pendidikan rendah.
Mungkin hal terakhir ini, yang membuat masalah pemukiman dianggap sebagai kendala utama berbagai masalah pesisir saat ini. Bagaimana tidak, dengan sebagian besar penduduk hidup di kawasan tersebut, berarti semakin banyak mulut yang harus diberi makan. Dan berarti juga semakin luas daya jangkau orang-orang daerah tersebut dalam usaha pemenuhan kebutuhannya. Hal inilah yang tampaknya masuk akal menjadi dalang dari semua masalah pesisir yang ada.
Seperti masalah hutan mangrove. Data terakhir yang didapat dari FAO tahun 2000 diketahui, bahwa laju perubahan hutan mangrove di Indonesia mulai tahun 1980 – 2000 menunjukkan indikasi yang makin menyusut. Yang semula luas hutan mangrove Indonesia tahun 1980 mencapai nilai 4.254.000 ha, tahun 2000 menyusut hingga tinggal 2.930.000 ha. Berarti tiap 10 tahunnya terjadi penyusutan sebesar sekitar 1,8 persen.
Namun yang bikin kita mengusap dada, ternyata laju rehabilitasi hutan mangrove di Indonesia tidak menunjukkan angka yang seimbang dengan laju kerusakan yang ada. Ini terlihat dari laporan profil pengelolaan pesisir dan lautan yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2003. Di sana disebutkan bahwa hanya sejumlah 1.784,1 ha luas hutan mangrove yang dianggap berhasil direhabilitasi hingga saat ini.
Tak Dipedulikan
Masalah pesisir belum selesai hanya di mangrove saja. Padang lamun kemudian seperti menghadang untuk diakui keberadaannya. Sampai awal era milenium yang baru ini harus diakui bahwa sumber daya padang lamun seperti terabaikan. Pembicaraan di sektor pesisir seperti hanya terpusat pada mangrove dan terumbu karang saja. Padahal kalau membicarakan pesisir tidak bisa mengabaikan habitat yang satu ini.
Di dunia penelitian khusus di wilayah ini tercatat baru dimulai sekitar tahun 1973. Sedangkan di Indonesia baru dimulai sekitar tahun 1984, yang ditandai dengan diadakannya ekspedisi Snellius II. Setelah itu ekosistem padang lamun baru mulai dilirik oleh LIPI untuk didalami.
Namun untuk terus bisa mengamati pola perkembangan daerah padang lamun ini, diperlukan data-data dasar yang memadai. Untuk itu, mulai tahun 2003 lalu, beberapa pemarhati ekosistem ini mulai mengumpulkan beberapa data dasar mengenai daerah tersebut. Hingga saat ini baru diinventarisasi daerah padang lamun yang berada di Kepulauan Riau.
Beberapa penelitian terakhir mengenai daerah tersebut juga mulai dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan melalui serangkaian ekspedisi Wallacea 2004 lalu. Dari penelitian itu, sedikitnya ditemukan delapan jenis lamun di Bokan Kepulauan, yaitu Halophila ovalis, Thalasia hemprichii, Halodule pinifolia, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Halophila dicipiens dan Halodule uninervis. Tak tertutup kemungkinan, jumlah itu masih akan bertambah setelah penelitian lebih lanjut (SH/18/8/04).
Beberapa keadaan terakhir mengenai padang lamun ini memang terasa tak renyah di telinga. Padahal beberapa penelitian di bidang ini menunjukkan ada kaitan erat ekosistem padang lamun dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Yaitu adanya interaksi fisik di antara mereka. Juga diindikasikan ada pertukaran nutrien dan bahan organik yang terlarut di antara mereka. Selain itu juga disinyalir terdapat proses pertukaran bahan organik yang melayang di sekitarnya. Selain juga sebagai habitat hewan untuk berkembang biak.
(str-sulung prasetyo)


Tidak ada komentar: