Demikianlah dinamakan pesisir pantai dan lautan atau kerennya Coastal and Marine. Wilayah pesisir merupakan suatu daerah yang memiliki fungsi strategis, karena merupakan wilayah atau daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut, disamping itu memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara terpadu. Kebijakan pemerintah yang sektoral dan bias daratan, akhirnya menjadikan laut sebagai kolam sampah. Dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia.
Kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai fihak/stakeholder untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi pemerintah membuat regulasi pemanfaatannya. Kekayaan sumberdaya pesisir dan lautan yang meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis, seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang (coral), padang lamun (sea grass), serta sumberdaya hayati dan non-hayati yang terdapat di dalamnya.
Sejak awal tahun 1990-an kekayaan sumberdaya pesisir telah mulai mengalami kerusakan dimana-mana, fenomena degradasi biogeofisik sumberdaya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang memprihatinkan, misalnya terutama pada ekosistem hutan bakau (mangrove) terumbu karang dan estuari (muara sungai). Rusaknya ekosistem mangrove, terumbu karang, dan estuari berdampak pada penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya ikan serta erosi pantai. Sehingga terjadi kerusakan tempat pemijahan dan daerah asuhan ikan, berkurangnya populasi benur, nener, produktivitas tangkap udang dan rusaknya jalur hijau pesisir (Green belt).
Kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan daya dukung lingkungannya. Sehingga persoalan yang sangat mendasar ini adalah mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak efektif untuk memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati pesisir yang dimanfaatkan pulih kembali atau pemanfaatan sumberdaya non-hayati disubstitusi dengan sumberdaya alam lain dan mengeliminir faktor-faktor yang menyebabkan kerusakannya.
Secara normatif, kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh Negara untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan masyarakat darat lainnya.
Pulau-Pulau Kecil
Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan tingkat kerentanan yang berbeda dibandingkan dengan pulau besar. Namun, demikian selama ini pengetahuan mengenai karakteristik pulau-pulau kecil sangat minim. Sehingga pengelolaan, pola pembangunan, dan regulasi disusun sama dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan pulau besar (mainland). Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau kecil yang memiliki kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang sangat potensial untuk pembangunan ekonomi.
Keragaman hayati, sumberdaya perikanan, dan nilai estetika yang tinggi merupakan nilai lebih ekosistem pulau-pulau kecil. Di sinilah ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi, seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan hutan bakau (mangrove) ditemukan. Selain itu, pulau-pulau kecil ini juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.
Pada sisi yang lain, pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi, khususnya menyangkut ketersediaan air yang rendah dan resiko erosi (penenggelaman). Oleh karena itu, pilihan pembangunan pulau-pulau kecil merupakan gabungan dari 2 sisi ini. Kegiatan yang bersifat ekstraktif (eksploitatif), seperti pertambangan, industri yang rakus konsumsi air, dan sebagainya, merupakan pilihan yang harus dihindari. Aktifitas ekstraktif justru cenderung hanya mengeksploitasi satu jenis sumberdaya lain, dan mengabaikan/merusak sumberdaya lain yang beragam. Negara-negara yang telah maju dalam mengelola pulau-pulau kecilnya, di antaranya Fiji, mengandalkan pariwisata dan budidaya perikanan berbasis masyarakat sebagai strategi pembangunannya.